Sengketa Batas Wilayah Indonesia-Timor Leste
Ina Ratna Fauzia (1510631180073)
Konflik secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu yang sama, atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama. Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan, Paul K. Huth menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya alamnya, Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya yang strategis secara militer.[1]
Sengketa di daerah perbatasan Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste, tepatnya di wilayah Naktuka, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, meruncing. Sebab, sekitar 65 kepala keluarga dari Timor Leste sudah membangun rumah di daerah yang dipersoalkan itu. Tokoh Adat Naktuka Kecamatan Amfoang Timur sekaligus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kupang, Junus Naisunis, mengatakan pembangunan rumah di wilayah Naktuka sudah mengkhawatirkan masyarakat setempat. Sebab, pembangunan sudah melewati wilayah batas negara Indonesia.[2]
Wilayah Naktuka merupakan lahan pertanian subur seluas 1.069 hektare itu awalnya dikelola bersama antara masyarakat Amfoang dengan Ambelu, sebelum Timor-Timur lepas dari Indonesia pada 1999. Sejak dulu, batas wilayah Ambelu-Amfoang Timur adalah Kali Noelbesi. Namun karena banjir badang, menyebabkan kali tersebut menjadi cabang-cabang kecil.
Kedua titik yang selama ini masih menjadi sengketa adalah Noelbesi Citrana dan Bijael Sunan-Oben. Untuk wilayah perbatasan Noelbesi Citrana, wilayah ini merupakan perbatasan antara wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Ambeno yang merupakan bagian dari Wilayah Timor Timur. Daerah ini dialiri Sungai Noelbesi yang bermuara di selat Ombai dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri daerah sengketa. Karena adanya perubahan iklim sepanjang tahun/perubahan alam, menyebabkan aliran sungai bergeser ke arah kanan daerah sengketa yang merupakan lahan pertanian subur. Lahan tersebut merupakan warisan turun temurun dengan batas sungai Noelbesi yang sekarang ada. Sementara wilayah kedua yang menjadi sengketa, yakni wilayah Bijael Sunan-Oben. Wilayah ini merupakan perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara yang menjadi bagian dari Indonesia dan distrik Oecusse yang merupakan bagian Timor Leste. Wilayah ini memiliki luas sekitar 142,7 hektar dan tak ada penduduk yang tinggal di kawasan itu.[3]
Untuk menyikapi keadaan itu, masyarakat Amfoang Timur sudah berusaha berdialog dengan tokoh adat. Hasilnya memutuskan warga menahan diri, sambil menunggu proses dari pemerintah. Warga Amfoang Timur berharap pemerintah Indonesia bisa segera menentukan batas wilayah negara sesuai dengan aturan hukum berlaku.
Territorial Dispute adalah konflik yang terjadi ketika kedua belah pihak/negara/kelompok mengklaim wilayahnya atau bagian dari wilayahnya, biasanya berdasarkan sejarah atau kepentingan geografis, seperti keamanan nasional. Sengketa ini sering terkait dengan kepemilikan sumber daya alam seperti sungai, lahan pertanian subur, mineral atau sumber daya minyak, meskipun sengketa juga dapat didorong oleh budaya, agama dan nasionalisme etnis. Dalam wilayah ini, jelas sekali bahwa sengketa yang terjadi adalah memperebutkan wilayah yang mempunyai kandungan alamnya yang berharga.[4]
Persoalan perbatasan merupakan harga diri bangsa. Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus duduk bersama demi menciptakan perdamaian di perbatasan, jangan sampai ketika konflik tersebut mengalami ketegangan baru kedua negara mulai bertindak. Karena sebagaimana kata pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Dalam penyelesaian konflik, pelibatan pemuka adat antar masing-masing warga desa beda negara ini juga harus dilakukan dengan difasilitasi oleh pemerintah kedua negara. Pemuka adat maupun tokoh adat masih merupakan orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat pedesaan. Dengan dilakukanya pertemuan pemuka adat tersebut diharapkan ada suatu kesepakatan antar kedua warga desa beda negara untuk menyelesaikan konflik.
[1]Ahmad Burhan Hakim, “Analisa Konflik Perbatasan Indonesia-Timor Leste”, diakses darihttp://m.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/analisa-konflik-perbatasan-indonesia-timor-leste/ pada tanggal 11 Mei 2017 pukul 08.37
[2]Aryo Putranto Saptohutomo, “Sengketa Wilayah Indonesia-Timor Leste Meruncing”, diakses dari https://m.merdeka.com/peristiwa/sengketa-wilayah-indonesia-timor-leste-meruncing.html pada tanggal 10 Mei 2017 pukul 20.00
[3]Kristian Erdianto, “Atasi Sengketa Wilayah, Indonesia-Timor Leste Bentuk Tim Khusus”, Kompas, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2017/02/13/17420051/atasi.sengketa.wilayah.indonesia-timor.leste.bentuk.tim.khusus pada tanggal 10 Mei 2017 pukul 20.14
[4]Muhammad Syahid, “Konflik Kepulauan Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia dan Malaysia”, diakses dari http://blog.unnes.ac.id/jetak/2015/11/19/10/ pada tanggal 8 Mei 2017 pukul 20.11
0 komentar: